Ada yang tahu tentang kisah Romeo & Juliet karangan William
Shakespeare? Saya rasa hampir semua orang mengetahuinya, kisah cinta dua
manusia yang sangat tragis. Romeo dan Juliet mengorbankan nyawanya karena cinta
mereka tidak dapat bersatu akibat permusuhan dua keluarga. Banyak cerita cinta
yang kemudian terinspirasi dari cerita Romeo dan Juliet ini. Namun kali ini
saya bukan akan menceritakan kisah Romeo dan Juliet, saya akan menceritakan
ulang kisah cinta Jayaprana dan Layonsari yang tidak kalah tragisnya. Kisah ini terjadi di tanah
kelahiran saya, Bali.
Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan
kecil di daerah utara pulau Bali. Kerajaan itu bernama kerajaan Wanekeling
Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari
suami istri serta tiga anaknya, dua orang laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan
itu terkena sebuah wabah yang menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari
kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena
wabah, empat anggota keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman
Jayaprana.
Raja Kalianget saat itu, juga merasakan duka
yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan
untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat kunjungan, Raja merasa tertarik dengan
Jayaprana yang pada saat itu tengah menangisi kematian kedua orang tua dan
kedua saudaranya. Raja merasa iba dan teringat dengan mendiang anaknya hingga
membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.
Setelah diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun
tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia mendapatkan pelajaran selayaknya anak
kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai
bertarung. banyak gadis yang diam-diam memendam pada Jayaprana. Melihat itu,
lantas Raja memerintahkan Jayaprana memilih dayang-dayang istana atau gadis di
luar istana untuk dijadikan pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa
dia masih kekanak-kanakan dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.
Namun karena Raja terus mendesak, maka
Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di
dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau
pada seorang gadis jelita penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar.
Nama gadis jelita itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas
dari Layonsari, Layonsari yang merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang
diantara kerumunan pasar.
Setelah Layonsari menghilang dari pandangannya,
Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah
menemukan gadis pujaannya. Raja pun membuat sebuah surat dan memerintahkan
Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero
Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Jero Bendesa membaca
isi surat Raja yang ternyata adalah surat pinangan terhadap anak gadisnya,
layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan apabila anaknya Layonsari dikawinkan
dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati Jayaprana mendengarnya dan dia pun
bergegas kembali ke Istana.
Di istana, Raja sedang mengadakan rapat di
pendopo, Jayaprana menyela rapat tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa
lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada saat itu juga, Raja mengumumkan pada
segenap hadirin bahwa pada hari Selasa Legi wuku
Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari.
Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan
bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang
hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan
secara gotong royong, semuanya serba indah.
Tibalah hari hari upacara perkawinan
Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa,
hendak meminang Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Di Istana, Raja
sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada para pegawai raja dan juga para
perbekel. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua
mempelai itu lantas turun dari atas kereta kuda, langsung menyembah kehadapan
Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari hingga tak
mampu berkata-kata.
Raja telah sekian lama menduda, diam-diam
tumbuh benih cinta di hati Raja pada Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari
membutakan akal sehat Raja yang sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun
memikirkan stategi untuk membunuh Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari.
Strategi itu disampaikan Raja kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati
Sawung Galing sebenarnya menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja
berkata bahwa bila dia tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati
karena sedih. Sebagai abdi setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak
Raja. Skenario untuk membunuh Jayaprana adalah Raja menitahkan agar
Jayaprana bersama rombongan pergi ke Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang
hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulon.
Pada hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan
kerajaan ke rumah Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana
menghadap Raja secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja
menceritakan bahwa di perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai
skenario, Jayaprana diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung
Galing ke perbatasan istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.
Sepulangnya dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja.
Malam harinya Layonsari bermimpi, rumahnya
dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari mimpinya dan menceritakan
mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar keberangkatannya besok
dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk, tetapi Jayaprana tidak
berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan istrinya, Jayaprana berkata
bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke
Teluktrima, meninggalkan istrinya yang sedang sedih. Sepanjang perjalanan
Jayaprana merasa ada yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan
dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan Teluktrima dengan
galaunya patih Sawung Galing menyerang Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih
sakti dari patih Sawung Galing hingga tidak mampu mengalahkan Jayaprana.
Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Sawung Galing, mengapa
patih ingin membunuhnya. atih Sawung Galing menyerahkan sepucuk surat dari Raja
kepada Jayaprana yang isinya:
Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau
Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja
Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.
Jayaprana menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia
berkata "Lakukanlah patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut
nyawanya demi kepentingan Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan
hamba, kini Beliau pula yang ingin mencabut nyawa hamba". Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan keris sakti
miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh
Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada
istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.
Setelah menerima keris itu,
dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan berat
hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi
semerbak. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, tiba-tiba
terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang hutan
menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan
kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat
bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba
menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.
Kabar tewasnya Jayaprana
pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja segera menghampiri
Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka dan sekaligus
lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada kabar
meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang
berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik
Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika
dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak
keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.
Rakyat sekitar membawa
jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad Jayaprana agar
selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan patih Sawung Galing
yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta ditempatkan dilokasi
tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.
Lantas bagaimana nasib sang
Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya dengan sebilah keris
dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata serta mengamuk membunuh
semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya. Setelah mati
pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah, setelah itu Raja
menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.
Pengikut setia Raja, tidak
percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka lalu mengamuk
membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak terima dan
serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan.lagi perang
saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya seluruh
rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari Kerajaan
Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia.
Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara hingga
akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa Kalianget
hingga kini.
Cerita ini melekat di
sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari generasi ke
generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben di Desa
Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
sediiiihh... :(
ReplyDeletesayangnya ga terlalu terkenal, bahkan orang Bali sendiri ga banyak yang tau
ReplyDeleteemang tragis sih..sayang cerita ini tidak banyak diketahui anak muda sekarang.sewaktu saya msh smp.cerita ini msh ada dibuku bahasa bali..itu sekitar tahun '95an..ga tau skrg msh ada dibuku ato ga...sekali lagi sayang...
ReplyDeletecerita ini memang populer di daerah Buleleng, di luar Buleleng sepertinya kurang populer. saya tau cerita ini juga karena sering diceritakan oleh orangtua, kebetulan saya kan komang, nah kepercayaan masyarakat setempat anak komang tidak boleh kawin dengan yg komang/nyoman, mitos itu dikaitkan dengan cerita ini. sekarang orang2 lebih suka cerita sinetron daripada cerita rakyat :) moga aja tulisan ini bisa ngebantu orang lain yg sebelumnya tidak tau jadi tau.
ReplyDeletenice story, udah jarang baca cerita rakyat :D
ReplyDeletelebih sering membaca komik ya :D
Deletecerita bagus..
ReplyDeleteiya :) makasi ya udah mampir ^^
Delete